INTERNALISASI NILAI–NILAI KEAGAMAAN UNTUK MEMBENTUK KOMPETENSI KEPRIBADIAN MUSLIM

A. Nilai-Nilai Keagamaan

1. Pengertian

Nilai-nilai keagamaan terdiri dari dua kata yaitu kata nilai dan keagamaan. Nilai itu sendiri adalah hakikat suatu hal yang menyebabkan hal itu dikejar oleh manusia. Nilai juga berarti keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya.[1]

Dengan demikian nilai dapat dirumuskan sebagai sifat yang terdapat pada sesuatu yang menempatkan pada posisi yang berharga dan terhormat yakni bahwa sifat ini menjadikan sesuatu itu dicari dan dicintai, baik dicintai oleh satu orang maupun sekelompok orang, contoh hal itu adalah nasab bagi orang-orang terhormat mempunyai nilai yang tinggi, ilmu bagi ulama` mempunyai nilai yang tinggi dan keberanian bagi pemerintah mempunyai nilai yang dicintai dan sebagainya.

Sedangkan keagamaan adalah hal-hal yang bersifat agama. Sehingga nilai-nilai Keagamaan berarti nilai-nilai yang bersifat agama.

2. Macam-macam Nilai-nilai Keagamaan

Menurut Nurcholish Madjid, ada bebrapa nilai-nilai keagamaan mendasar yang harus ditanamkan pada anak dan kegiatan menanamkan nilai-nilai pendidikan inilah yang sesungguhnya menjadi inti pendidikan keagamaan. Di antara nilai–nilai yang sangat mendasar itu ialah:[2]

a. Iman, yaitu sikap batin yang penuh kepercayaan kepada Tuhan

Masalah iman banyak dibicarakan di dalam ilmu tauhid. Akidah tauhid merupakan bagian yang paling mendasar dalam ajaran Islam, Tauhid itu sendiri adalah men-satu-kan Allah dalam dzat, sifat, af’al dan hanya beribadah hanya kepadanya. Tauhid dibagi menjadi empat bagian,[3]

1) Tauhid Rububiyyah yaitu men-satu-kan Allah dalam kekuasaannya artinya seseorang meyakini bahwa hanya Allah yang menciptakan, memelihara, menguasai dan yang mengatur alam seisinya.Tauhid rububiyyah ini bisa diperkuat dengan memperhatikan segala ciptaan Allah baik benda hidup maupun benda mati. Ilmu-ilmu kealaman disamping mempelajari fenomena alam juga dapat sekaligus membuktikan dan menemukan bahwa Allahlah yang mengatur hokum alam yang ada pada setiap benda. Dengan demikian semakin seseorang memahami alam tentu seharusnya semakin meningkat keimanannya.

2) Tauhid Uluhiyyah yaitu men-satu-kan allah dalam ibadah, segala perbuatan seseorang yang didorong kepercayaan gaib harus ditujukan hanya kepada Allah dan mengikuti petunjukNya.

3) Tauhid sifat yaitu suatu keyakinan bahwa Allah bersifat dengan sifat-sifat kesempurnaan dan mustahil bersifat dengan sifat-sifat kekurangan.

4) Tauhid Asma` yaitu suatu keyakinan bahwa Allah pencipta langit dan bumi serta seisinya mempunyai nama-nama bagus dimana dari nama –nama itu terpancar sifat – sifat Allah.

b. Islam, yaitu sikap pasrah dan taat terhadap aturan Allah

c. Ihsan, yaitu kesadaran yang sedalam – dalamnya bahwa Allah senantiasa hadir bersama kita dimana saja berada sehingga kita senantiasa merasa terawasi.

d. Taqwa, yaitu sikap yang sadar bahwa Allah selalu mengawasi kita sehingga kita hanya berbuat sesuatu yang diridlai Allah dan senantiasa menjaga diri dari perbuatan yang tidak diridlai –Nya.

e. Ikhlas, yaitu sikap murni dalam tingkah laku dan perbuatan semata – mata demi memperoleh ridla Allah.

f. Tawakkal, yaitu sikap senantiasa bersandar kepada Allah dengan penuh harapan kepada-Nya dan keyakinan bahwa dia akan menolong dalam mencari dan menemukan jalan yang terbaik.

g. Syukur, yaitu sikap penuh rasa terima kasih dan penghargaan atas segala nikmat dan karunia yang tidak terbilang banyaknya.

h. Shabar, yaitu sikap tabah menghadapi segala kepahitan hidup, besar dan kecil, lahir dan batin, fisiologis maupun psikologis.

B. Internalisasi Nilai–Nilai Keagamaan melalui Ilmu Alam

Internalisasi hakikatnya adalah sebuah proses menanamkan sesuatu. Sedangkan internalisasi nilai-nilai keagamaan adalah sebuah proses menanamkan nilai–nilai keagamaan. Internalisasi ini dapat melalui pintu Institusional yakni melaui pintu-pintu kelembagaan yang ada misalnya lembaga Studi Islam dan lain sebagainya. Selanjutnya adalah pintu personal yakni melalui pintu perorangan khususnya para pengajar. Dan juga pintu material yakni melaui pintu materi perkuliahan atau melalui kurikulum Melaui pendekatan material, tidak hanya terbatas pada mata pelajaran pendidikan Agama Islam tapi juga bisa melalui pelajaran-pelajaran yang lain kususnya bidang keilmuan alam.

Dilihat dari segi sumbernya, pengetahuan mempunyai dua sumber yaitu pertama,sumber berupa ayat qur`aniyyah yaitu wahyu yang diturunkan dengan lambang bahasa lukisan dan kata yang terhimpun (al-Qur`an al-Tadwiny) Kedua, sumber berupa ayat kauniyyah yaitu ayat-ayat Allah yang terhampar dalam alam raya (al-Qur`an al-Takwiny). Sumber pertama melahirkan ilmu akidah, syariah dan akhlak sedangkan sumber kedua melahirkan ilmu-ilmu sosial, alam dan terapan yang rentan terhadap pertumbuhan kuantitatif dan pelipat gandaan.

Baik ayat qur`aniyyah maupun ayat kauniyyah mencakup gagasan atau pola dasar tentang semua kenyataan yang ada, keduanya tidak dapat dipisahkan. Banyak ayat-ayat al-Qur`an yang memacu manusia untuk memikirkan dan meneliti berbagai fenomena baik yang ada pada dirinya maupun alam sekitarnya. Bahkan terhadap al-Qur`an sendiri manusia dituntut mengkajinya.

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ ( ص : 29 )

Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. ( Q.S. Shaad : 29 )[4]

إِنَّ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَآياتٍ لِلْمُؤْمِنِين وَفِي خَلْقِكُمْ وَمَا يَبُثُّ مِنْ دَابَّةٍ آيَاتٌ لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ رِزْقٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ آيَاتٌ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ ( الجا ثية : 3- 5 )

Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk orang-orang yang beriman, Dan pada penciptakan kamu dan pada binatang-binatang yang melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk kaum yang meyakini, dan pada pergantian malam dan siang dan hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkan-Nya dengan air hujan itu bumi sesudah matinya; dan pada perkisaran angin terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal ( Q.S. al-Jasiyah : 3-5 )[5]

Segala ilmu pengetahuan bersumber dari yang satu yakni Allah swt. Menurut Husain Nasr, hanya orang yang mampu memasuki dimensi dirinya yang paling dalam ang dapat melihat bahwa alam raya ini merupakan simbol dan realitas tembus pandang sehingga bisa memahami alam ini dalam arti yang sebenarnya.[6]

Konsep integrasi keilmuan juga berangkat dari doktrin keesaan Tuhan (tawhid). Doktrin keesaan Tuhan, atau iman dalam pandangan Isma’il Raji al-Faruqi, bukanlah semata-mata suatu kategori etika. Ia adalah suatu kategori kognitif yang berhubungan dengan pengetahuan, dengan kebenaran proposisi-proposisinya. Ia mengatakan :

As principle of knowledge, al tauhid is the recognition that Allah, al haqq (the Truth) is, and that He is one. This implies that all contention, all doubt, is referable to Him; that no claim is beyond testing, beyond decisive judgment. Al tauhid is the recognition that the truth is indeed knowable, that man is capable of reaching it. Skepticims which denies the truth is the opposite of al tauhid. It arises out of a failure of nerve to push the inquiry into truth to its end; the premature giving up of the possibility of knowing the truth.[7]

Dengan demikian Islam tidak mengenal pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum. Konsep ajaran Islam tentang pengembangan ilmu pengetahuan yang demikian itu didasarkan kepada beberapa prinsip sebagai berikut :[8]

Pertama, ilmu pengetahuan dalam Islam dikembangkan dalam kerangka tauhid dan teologi. Yaitu teologi yang bukan semata-mata meyakini adanya Tuhan dalam hati, mengucapkannya dengan lisan dan mengamalkannya dengan tingkah laku, melainkan teologi yang menyangkut aktivitas mental berupa kesadaran manusia yang paling dalam perihal hubungan manusia dengan Tuhan, lingkungan dan sesamanya.

Dengan pandangan teologi yang demikian itu, maka alam raya, manusia, masyarakat dan Tuhan merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan. Alam raya terikat oleh hukum alam (nature of law) yang dalam pandangan Islam adalah Sunatullah, aturan Allah dan ayat Allah. Alam raya ini selanjutnya menjadi objek kajian dalam pengembangan ilmu pengetahuan (sains) seperti ilmu Fisika, Biologi dan sebagainya.

Kedua, ilmu pengetahuan dalam Islam hendaknya dikembangkan dalam rangka bertaqwa dan beribadah kepada Allah SWT. Hal ini penting ditegaskan, karena dorongan Al-Qur’an untuk mempelajari fenomena alam dan sosial tampak kurang diperhatikan, sebagai akibat dan perhatian dakwah Islam yang semula lebih tertuju untuk memperoleh keselamatan di akhirat. Hal ini mesti diimbangi dengan perintah mengabdi kepada Allah dalam arti yang luas, termasuk mengembangkan ilmu pengetahuan.

Ketiga, reorientasi pengembangan ilmu pengetahuan harus dimulai dengan suatu pemahaman yang segera dan kritis atas epistimologi Islam klasik dan suatu rumusan kontemporer tentang konsep ilmu.

Keempat, ilmu pengetahuan harus dikembangkan oleh orang-orang Islam yang memiliki keseimbangan antara kecerdasan akal dengan kecerdasan moral yang dibarengi dengan kesungguhan untuk beribadah kepada Allah dalam arti yang seluas-luasnya.

Kelima, ilmu pengetahuan harus dikembangkan dalam kerangka yang integral. Yakni, bahwa antara ilmu agama dan ilmu umum walaupun bentuk formulasinya berbeda-beda, namun hakikatnya sama, yaitu sama-sama sebagai tanda kekuasaan Allah. Dengan pandangan yang demikian itu, maka tidak ada lagi perasaan yang merasa lebih unggul antara satu dan lainnya.

Sementara Abu Hamid al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua yaitu:

  1. Ilmu syar’iyyah yaitu ilmu yang diperoleh melalui para nabi bukan melalui akal seperti ilmu hitung, bukan melalui ekperimen seperti ilmu kedokteran dan bukan melalui pendengaran seperti ilmu bahasa. Ilmu ini semuanya terpuji. Ilmu ini dibagi menjadi empat

§ al-Ushul (pokok): al-Qur`an, al-Sunnah, Ijma’ Umat dan Tradisi sahabat baik berupa perbuatan maupun perkataan

§ al-Furu’ ( Cabang ) : segala apa yang bisa dipahami dari sumber pokok, baik berkaitan dengan kemaslahatan dunia seperti ilmu fiqh maupun yang berkaitan dengan kemaslahatan akhirat seperti ilmu tentang seluk beluk kondisi hati

§ Pengantar : yaitu alat untuk memahami sumber pokok seperti ilmu bahasa Arab. Ilmu bahasa Arab masuk kedalam katagori syariat adalah apabila ilmu bahasa itu semata–mata untuk memahami syariat yang berbahasa Arab

§ Penyempurna: yakni ilmu sebagai penyempurna terhadap sumber pokok seperti ilmu Qira`at, ilmu makharij al-Khurf, Ilmu Ushul Fiqh, ilmu tentang keadan para perawi dan sebagainya

  1. Ilmu bukan syar’iyyah yaitu setiap ilmu yang berkaitan dengan kemaslahatan dunia. Ilmu ini bersumber dari pemikiran akal murni seperti ilmu hitung, bersumber dari hasil eksperimen seperti ilmu kedokteran dan bersumber dari pendengaran seperti bahasa. Ilmu ini dibagi menjadi tiga,

§ Terpuji, yakni segala ilmu yang benar-benar dibutuhkan untuk kemaslahatan dunia. Apabila ilmu ini tidak ada tentu akan terjadi kekacauan dan kerusakan seperti ilmu kedokteran dan ilmu hitung

§ Tercela yakni ilmu yang bisa merusak diri sendiri maupun orang lain seperti ilmu sihir, ilmu tenung, ilmu azimat dan astrologi

§ Mubah seperti ilmu syair, sejarah dan sebagainya[9]

Dilihat dari hukum pencariannya, ilmu dibagi menjadi

§ Fardlu Ain, yakni ilmu dimana setiap muslim berkuwajiban mencarinya. Ilmu ini dibagi menjadi tiga kelompok yaitu ilmu Tauhid yakni ilmu yang terkait dengan pokok-pokok agama, ilmu Sirr yakni ilmu yang berkaitan dengan pengelolaan hati sepereti sikap ta’dzim pada Allah, iklas dalam beribadah. Dan ilmu syariat yakni ilmu tentang kuwajiban pelaksanaan syariat.

§ Fardlu Kifayah yakni ilmu yang harus dikuasai oleh sebagaian masyarakat muslim dalam suatu daerah tertentu. Ilmu ini sangat digunakan oleh masyarakat seandainya tidak ada ilmu ini tentu akan terjadi kerusakan seperti ilmu kedokteran, politik, tenun dan sebagainya[10]

Ilmu pengetahuan secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiannya. Ilmu pengetahuan harus bisa mendorong pada pengakuan atas kemahabesaran sang Pencipta hingga membawa pada ketaatan dan ketundukan kepadaNya. Allah berfirman dalam Q.S. Fathir ayat 28,

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ ( فاطر : 28)

Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun ( Fathir: 28 )[11]

Dalam ayat ini Allah menjelaskan tanda-tanda kebesaran kekuasaannya yang kemudian diikuti

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

Dalam hal ini Ali as-shabuny menafsirkan: hanya ulama yang mengenal Allahlah yang benar-benar, karena semakin sempurna pengetahuan terhadap dzat yang Maha Agung dan Maha Sempurna, maka akan semakin menimbulkan rasa takut kepada-Nya. [12]Sementara menurut Muhammad bin Ibrahim, Ilmu yang berpengetahuan namun tidak muncul rasa takut kepada Allah pada hakikatnya ia tidak seorang yang berpengetahuan.[13]

Dari rasa takut kepada Allah itulah akan membawa pengaruh yang positif dalam diri manusia. Dengan sikap itu ia tidak akan terjerumus dalam kemaksiatan dan berbuat dosa. Dengan ilmu pengetahuan, seseorang dapat mengetahui watak alam, sementara mata hatinya menyadarkan bahwa alam yang dijadikan obyek sama –sama makhluk Tuhan yang mengisyaratkan sang pencipta yang Rahman dan Rahim. Jalaluddin ar-Rumi Mengatakan, Bila kau terapkan ilmu pengetahuan pada jasadmu saja ia akan menjadi ular yang berbisa, tapi bila kau terapkan pada hatimu ia menjadi teman[14]

C. Kompetensi Kepribadian Muslim

Begitu pentingnya kepribadian, terdapat empat kompetensi yang harus dikuasai oleh seorang guru. Kompetensi itu adalah kompetensi paedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi professional dan kompetensi sosial[15]. Kompetensi kepribadian ini dalam ilmu pendidikan merupakan bagian dari kompetensi guru yang mutlak harus dikuasai. Demikian juga di dalam struktur kurikulum di perguruan tinggi terdapat kelompok mata kuliah pengembangan kepribadian.

Kepribadian pada hakikatnya adalah sesuatu yang sudah mempribadi, sesuatu yang menjadi bagian dari pribadi seseorang. Dalam hal ini, kepribadian hampir sama dengan akhlak. Sebagaimana kepribadian yang sudah mempribadi, akhlak demikian juga merupakan kondisi jiwa yang telah menjadi bagian dari seseorang sehingga menyebabkan seseorang berbuat tanpa lagi dipertimabangkan dan dipikirkan.

Ada dua jalan menurut Islam dalam membentuk kepribadian yang baik, Pertama, bersifat teoritis ( nadlary ) yakni melalui pengajaran, dan kedua,bersifat praktis ( amaly ) yakni melalui pembiasaan.[16] Itulah sebabnya al-Ghazali yang dikutib oleh Muhammad said mursi berkata,

والصبيّ أمانة عند والديه وقلبه الطاهر جوهرة نفيسه فإن عوّد الخير وعلّمه نشأعليه وسعد في الدنيا والأخرة[17]

Anak merupakan amanat kedua orang tua dan hatinya yang masih bersih merupakan mutiara yang indah maka jika dibiasakan dan diajarkan kebaikan pasti akan tumbuh dewasa dengan kebaikan itu dan berbahagia di dunia dan akhirat.

D. Upaya Internalisasi Nilai-Nilai keagamaan

Ada beberapa upaya untuk menginternalisasikan nilai-nilai keagamaan pada mahasiswa ,

Pertama, pendekatan indoktrinasi, yaitu suatu pendekatan yang digunakan oleh dosen dengan maksud untuk mendoktrinkan atau menanamkan materi perkuliahan dengan unsur memaksa untuk dikuasai mahasiswa. Hal–hal yang bisa dilakukan oleh dosen dalam pendekatan ini adalah

1. Melakukan brainwashing, yaitu dosen memulai pendidikan nilai dengan jalan merusak tata nilai yang sudah mapan dalam pribadi siswa untuk dikacaukan.

2. Penanaman fanatisme, yakni dosen menanamkan ide-ide baru atau nilai-nilai yang dianggap benar.

3. Penanaman doktrin, yakni dosen mengenalkan satu nilai kebenaran yang harus diterima mahasiswa tanpa harus mempertanyakan hakikat kebenaran itu.

Kedua, Pendekatan moral reasoning, yaiyu suatu pendekatan yang digunakan dosen untuk menyajikan materi yang berhubungan dengan moral melalui alasan–alasan logis untuk menentukan pilihan yang tepat. Hal–hal yang bisa dilakukan oleh dosen dalam pendekatan ini adalah,

1. Penyajian dilema moral yakni mahasiswa dihadapkan pada isu-isu moral yang bersifat kontradiktif

2. Pembagian kelompok diskusi, Mahasiswa dibagi kedalam beberapa kelompok kecil untuk mendiskusikan

3. Diskusi kelas, hasil diskusi kelompok kecil dibawa kedalam diskusi kelas untuk memperoleh dasar pemikiran siswa untuk mengambil pertimbanagan dan keputusan moral.

4. Seleksi nilai terpilih, setiap mahasiswa dapat melakukan seleksi sesuai tingkat perkembangan moral yang dijadikan dasar pengambilan keputusan moral serta dapat melakukan seleksi nilai yang terpilih sesuai alternatif yang diajukan.

Ketiga, Pendekatan forecasting concequence, yaitu pendekatan yang digunakan yang digunakan dosen dengan maksud mengajak mahasiswa untuk menemukan kemungkinan akibat–akibat yang ditimbulkan dari suatu perbuatan. Hal hal yang bisa dilakukan dosen dalam hal ini adalah

1. Penyajian kasus-kasus moral-nilai, mahasiswa diberi kasus moral nilai yang terjadi di masyarakat.

2. Pengajuan pertanyaan, mahasiswa dituntun untuk menemukan nilai dengan pertanyaan-pertanyaan penuntun mulai dari pertanyaan tingkat sederhana sampai pada pertanyaan tingkat tinggi.

3. Perbandingan nilai yang terjadi dengan yang seharusnya

4. Meramalkan konsekuensi, mahasiswa disuruh meramalkan akibat yang terjadi dari pemilihan dan penerapan suatu nilai.

Keempat, Pendekatan klasifikasi nilai, yaitu suatu pendekatan yang digunakan dosen untuk mengajak mahasiswa menemukan suatu tindakan yang mengandung unsur–unsur nilai (baik positif maupun negatif) dan selanjutnya akan ditemukan nilai-nilai yang seharusnya dilakukan. Hal-hal yang bisa dilakukan dosen. Dalam pendekatan ini adalah

1. Membantu mahasiswa untuk menemukan dan mengkategori-sasikan macam- macam nilai

2. Proses menentukan tujuan, mengungkapkan perasaan, menggali dan memperjelas nilai

3. Merencanakan tindakan

4. Melaksanakan tindakan sesuai keputusan nilai yang diambil dengan model-model yang dapat dikembangkan melalui moralizing, penanaman moral langsung dengan pengawasan yang ketat, laisez faire, anak diberikebebasan cara mengamalkan pilihan nilainya tanpa pengawasan, modelling melakukan penanaman nilai dengan memberikan contoh-contoh agar ditiru.

Kelima, Pendekatan ibrah dan amtsal, yaitu suatu pendekatan yang digunakan oleh dosen dalam menyajikan materi dengan maksud mahasiswa dapat menemukan kisah-kisah dan perumpamaan-perumpamaan dalam suatu peristiwa, baik yang sudah terjadi maupun yang belum terjadi. Hal hal yang bisa dilakukan dosen antara lain,

1. Mengajak mahasiswa untuk menemukan melalui membaca teks atau melihat tayangan media tentang suatu kisah dan perumpamaan.

2. Meminta mahasiswa untuk menceritakannya dari kisah suatu peristiwa, dan menemukan perumpamaan-perumpamaan orang-orang yang ada dalam kisah peristiwa tersebut.

3. Menyajikan beberapa kisah suatu peristiwa untuk didiskusikan dan menemukan perumpamaannya sebagai akaibat dari kisah tersebut.


[1] Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, (Bandung: Alvabeta, 2004), hlm. 9.

[2] Nurcholish Majdjid, Masyarakat Religius Membumikan Nilai-Nilai Islam Dalam Kehidupan Masyarakat, Jakarta, 2000, hal. 98-100

[3] . Abdul Wahid hasyim, Dasar-Dasar Aqidah Islam, 1424 H, hal. 16

[4] . R.H.A. Soenarjo, al- Qur`an dan terjemahnya, Semarang, CV Alwah, 1993, hal. 736

[5] . R.H.A. Soenarjo, Ibid., hal. 815

[6]. M.Dawam raharjo, Konsepsi Manusia menurut Islam, Pustaka Grafiti Pers, 1987, hal. 192

[7]. Isma’il Raji al Faruqi, Al-Tauhid: Its Implications for Thought and Life, (Virginia-USA: The International Institute of Islamic Thought, 1982), hlm. 49.

[8]. Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan; Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2003, hal. 103-107.

[9] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Semarang, Maktabah Usaha Keluarga, t.th. hal. 17

[10] —————–, Minhaj al-Abidin, al-Nur Asiya, t.th. hal. 7

[11] R.H.A. soenarjo, Op.Cit. hal. 700

[12] Muhammad Ali al-Shabuny, Shafwah al-Tafasir, Dar al-Fikr, t.th. hal. 574

[13] Muhammd bin Ibrahim,Syarh al-Hikam, Syirkah Nur Asiya, hal. 49

[14] Fazlurrahman, Islam dan Modernitas tentang Transformasi Intellektual, Bandung, Pustaka 1985, hal. 67,

[15] . Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, Bab IV Pasal 10 ayat 1, Semarang, CV. Duta Nusindo, 2006, hal. 7

[16] . Muhammad Said Mursi, Fann Tarbiyah al-Aulad Fii al-Islam, 1977, hal. 129

[17] . Ibid.

Satu respons untuk “INTERNALISASI NILAI–NILAI KEAGAMAAN UNTUK MEMBENTUK KOMPETENSI KEPRIBADIAN MUSLIM

  1. “INTERNALISASI NILAI–NILAI KEAGAMAAN UNTUK MEMBENTUK KOMPETENSI KEPRIBADIAN MUSLIM MAZGURU” was in fact a terrific blog post and also I
    was indeed really pleased to find it. Thanks for the post,Ines

Tinggalkan komentar