BERSYUKURLAH, MAKA BAHAGIA AKAN MENJEMPUTMU

Definisi Syukur :

Memuji, berterima kasih dan merasa berhutang budi kepada Allah atas karunia-Nya, bahagia atas karunia tersebut dan mencintai-Nya dengan melaksanakan ketaatan kepada-Nya.

Kewajiban Bersyukur :

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepadaNya kamu menyembah.” (QS. Al Baqarah: 172).

“Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah berhala, dan kamu membuat dusta. Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezki kepadamu; maka mintalah rezki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada- Nyalah kamu akan dikembalikan.” (QS. Al Ankabut : 17)

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari-Ku.” (QS. Al Baqarah: 152)

“Karena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.” (QS. Az-Zumar: 66)

Lanjutkan membaca “BERSYUKURLAH, MAKA BAHAGIA AKAN MENJEMPUTMU”

HIRARKI PENGALAMAN BERAGAMA

A. Pengertian

Ada tiga hirarki pengalaman beragama Islam seseorang. Pertama, tingkatan syariah. Syariah berarti aturan atau undang-undang, yakni aturan yang dibuat oleh pembuat aturan (Allah dan RasulNya) untuk mengatur kehidupan orang-orang mukallaf baik hubungannya dengan Allah ( habl min Allah ) maupun hubungannya dengan sesama manusia (habl min al-Nas ).

Dataran syariat berarti kualitas amalan lahir formal yang ditetapkan dalam ajaran agama melalui al-Qur`an dan Sunnah. Amalan tersebut dijadikan beban ( taklif ) yang harus dilaksanakan, sehingga amalan lebih didorong sebagai penggugur kewajiban. Dalam dataran ini, pengamalan agama bersifat top dawn yakni bukan sebagai kebutuhan tapi sebagai tuntutan dari atas ( syari‘ ) ke bawah ( mukallaf ). Tuntutan itu dapat berupa tuntutan untuk dilaksanakan atau tuntutan untuk ditinggalkan. Seseorang dalam dataran ini, pengamalan agamanya karena didorong oleh perintah, bukan semata – mata kebutuhan. Hal ini sesuai dengan pendapat al-Qusyairi dalam kitab al-Risalah al-Qusyairiyyah

الشريعة أمر بالتزام العبودية والحقيقة مشاهدة الربوبية. فالشريعة جاءت بتكليف الخالق، والحقيقة إنباء عن تصريف الحق.فالشريعة أن تعبده،والحقيقة أن تشهده.والشريعة قيام بما أمر، والحقيقة شهود لما قضى وقدر، وأخفى وأظهر.[1]

Syariah adalah perintah untuk memenuhi kewajiban ibadah dan haklikat adalah penyaksian ketuhanan, Syariat datang dengan membawa beban Tuhan yang maha pencipta saedangkan hakikatmenceritakan tentang tindakan Tuhan Syariah adalah engkau mengabdi pada Allah sedangkan hakikat adalah engkau menyaksikan Allah, Syariah adalah melaksanakan perintah sedangkan hakikat menyaksikan apa yang telah diputuskan dan ditentukan, yang disembunyikan dan yang ditampakkan

Kedua, tingkat tarikat yaitu kesadaran pengamalan ajaran agama sebagai jalan atau alat untuk mengarahkan jiwa dan moral. Dalam dataran ini, seseorang menyadari bahwa ajaran agama yang ia laksanakan bukan semata-mata sebagi tujuan tapi sebagai alat dan metode untuk meningkatkan moral. Puasa Ramadlan misalnya, tidak hanya dipandang sebagai kuwajiban tapi juga disadari sebagai media untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu sikap bertaqwa. Demikian juga ,tuntutan-tuntutan syariah lainnya disadari sebagai proses untuk mencapai tujuan moral.

Ketiga, tingkatan hakikat yang berarti realitas, senyatanya, dan sebenarnya. Dalam tasawuf yang real dan yang sebenarnya adalah Allah yang maha benar atau real ( al-Haq ). Dengan demikian tingkat hakikat berarti dimana seseorang telah menyaksikan Allah s.wt. Pemahaman lain dari hakikat adalah bahwa hakikat merupakan inti dari setiap tuntutan syariat.Berbeda dengan syariat yang menganggap perintah sebagai tuntutan dan beban maka dalam dataran hakikat perintah tidak lagi menjadi tuntutan dan beban tapi berubah menjadi kebutuhan. Itulah Aba Ali al-Daqaq yang dikutip oleh al-Quyairy mengatakan;

سمعت الأستاذ أبا علي الدقاق، رحمه الله، يقول: قوله: إياك نعبد حفظ للشريعة وإياك نستعين إقرار بالحقيقة.[2]

Saya mendengar al-Ustadz Abu Ali al-Daqaq rahimahu Allah berkata” firman Allah iyyaka na’budu (hanya padamu aku menyembah) adalah menjaga syariat sedangkan waiyyaka nastain (dan hanya padamu kami meinta pertolongan) adalah sebuah pengakuan hakikat.


B. Kesatuan syariat dan hakikat

Syariat dan hakikat adalah ibarat wadah dan isi, yang lahir dan yang batin, ibarat gelas dan air yang ada dalam gelas. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Shalat dilihat dari sisi syariat adalah perbuatan dan perkataan yang diawali dengan takbiratul ihram dan diahiri dengan salam beserta rukun-rukunnya dan inti dari shalat adalah mengingat Allah. Seseorang tidak boleh hanya mengingat Allah tanpa melaksanakan shalat yang telah disyariatkan. Dan sebaliknya seseorang tidak boleh melaksanakan shalat dengan segala rukunnya akan tetapi hatinya kosong tidak nyambung ( hudlur ) dengan Allah.

Al-Qusyairi mengatakan

فكل شريعة غير مؤيدة مؤيدة بالحقيقة فغير مقبول.فالحقيقة جاءت غير مقيدة بالشريعة فغير مقبول.[3]

Setiap syariat yang tidak dikuatkan dengan hakikat maka tidak akan diterima, dan setiap hakikat yang tidak dikuatkan dengan syariat maka tidak diterima


[1] Al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyyah, Juz I, al-Maktabah al-Syamilah, hal.42

[2] Ibid.,

[3] Ibid.,

AKHLAK

A. Pengertian

Akhlak ( ( أخلاق ) adalah kata jamak dari khuluq (خلق ). Kata khuluq adalah lawan dari kata khalq, khuluq merupakan bentuk batin sedangkan khalq adalah bentuk lahir. Khalq bisa dilihat dengan mata lahir ( bashar ) sedangkan khuluq dilihat dengan mata batin ( bashirah ). Keduanya dari akar kata yang yang sama yaitu khalaqa. Keduanya berarti penciptaan, karena memang keduanya telah tercipta melalui proses. Khuluq atau akhlaq adalah sesuatu yang telah tercipta atau terbentuk melalui sebuah proses, sehingga dengan kata lain akhlak disebut juga dengan kebiasaan.
الخلق حال للنفس داعية لها إلى أفعالها من غير فكر ولا روية
Akhlak adalah gerakan jiwa yang mendorong melakukan perbuatan dengan tanpa butuh pikiran dan pertimbangan
Syaikh Muhamad bin Ali as-Syarif al-Jurjani mengartikan akhlak sebagai stabilitas sikap jiwa yang melahirkan tingkah laku dengan mudah tanpa melalui proses berpikir.
Abu Hamid al- Ghazali dalam bukunya Ihya’ Ulum al-Din mendefinisikan akhlak sebagai berikut:
فَالْخُلُقُ عِبَارَةٌ عَنْ هَيْئَةٍ فِى النَّفْسِ رَاسِخَةٍ عَنها تَصْدُرُ الأَفْعَالُ بِسُهُوْلَةٍ وَيُسْرٍ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ إِلَى فِكْرٍ وَرُوِيَّةٍ
Akhlak merupakan ungkapan tentang keadaan yang melekat pada jiwa dan darinya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa membutuhkan kepada pikiran dan pertimbangan.
Dari beberapa definisi di atas , akhlak mengandung empat unsur yaitu adanya perbuatan baik dan buruk, adanya kemampuan melaksanakan, mengetahui perbuatan yang baik dan yang buruk, dan adanya kecenderungan kondisi jiwa pada salah satu perbuatan yang terpuji maupun yang tercela.
Dengan demikian siapa saja yang berbuat kebaikan misalnya menyerahkah hartanya akan tetapi dimotivasi oleh kebutuhan yang mendadak bukan didorong oleh keadaan yang sudah menancap di dalam jiwanya, maka perbuatan itu tidak bisa dikatakan sebagai akhlak dermawan. Demikian juga orang dalam melakukan perbuatan dengan terpaksa maka tidak bisa dikatakan sebagai akhlak. Orang yang tidak pernah memberikan sesuatu karena ketidakmampuannya maka juga tidak bisa disebut sebagai orang bakhil.

B. Pembagian Akhlak
Keadaan jiwa yang ada pada seseorang itu adakalanya melahirkan perbuatan yang terpuji dan ada kalanya perbuatan yang tercela. Oleh karena itu akhlak ditinjau dari sifatnya dibagi dua, Pertama,akhlak terpuji ( mahmudah ) atau kadang disebut dengan akhlak yang ( karimah ).Kedua, akhlak tercela ( mazdmumah ).
Ukuran untuk menentukan akhlak terpuji atau akhlak tercela itu adalah pertama, syara’ yakni aturan atau norma yang ada di al-Qur`an dan al-Sunnah. Kedua, Akal sehat. Sedangkan untuk menciptakan akhlak yang baik dibutuhkan adanya keseimbangan antara empat kekuatan ( daya ), yaitu kekuatan ilmu, kekuatan marah, kekuatan syahwat dan kekuatan adil terhadap kekuatan ilmu, marah dan syahwat.
Kebaikan Kekuatan ilmu adalah untuk membedakan mana perkataan yang benar dan tidak benar, mana keyakinan yang benar dan yang palsu dan mana perbuatan yang terpuji dan tidak terpuji. Apabila kekuatan ilmu ini direalisasikan maka akan melahirkan al-hikmah ( kebijaksanaan, wisdom ) .
Kebaikan daya marah adalah manakala pelepasan daya marah itu sesuai dengan batas yang dituntut oleh al-hikmah. Daya marah digunakan untuk mempertahankan agama, kehormatan dan lain sebagainya. Dengan adanya daya marah itulah jihad diperintahkan. Kebaikan daya syahwat manakala pelepasannya di bawah kendali akal dan syara’,. Tanpa adanya daya syahwat kehidupan ini akan berhenti karena tidak ada lagi syahwat untuk makan,minum maupun nikah. Adapun kekuatan adil berfungsi menekan daya marah dan daya syahwat agar senantiasa dibawah kontrol akal dan syara’.
Kondisi jiwa yang dapat mendorong perbuatan tanpa dipikir dan dipertimbangkan ada dua, bawaan dan pembentukan. Sebagai contoh ada seseorang yang berpembawaan mudah tertawa karena menyaksikan hal-hal atau peristiwa kecil. Demikian juga ada seseorang yang berpembawaan mudah marah gara-gara perkara sepele.

C. Pembentukan akhlak
Ada dua pendapat apakah akhlak itu bisa dirubah dan dibentuk. Pendapat pertama mengatakan bahwa akhlak itu tidak dapat dirubah. Sebagaimana bentuk lahir (khalq) tidak dapat dirubah, misalnya badan yang pendek tidak bisa ditinggikan dan badan yang tinggi tidak dapat dipendekkan, maka akhlak yang merupakan bentuk batin demikian juga tidak dapat dirubah. Pendapat kedua mengatakan bahwa akhlak dapat dibentuk dan dirubah yaitu dengan cara mujahadah dalam menundukkan daya syahwat dan daya marah. Pendapat kedua ini dikuatkan dengan alasan seandainya akhlak tidak dapat dirubah maka segala bentuk maidlah, pesan dan pendidikan (ta`dib) tidak ada gunanya. Sementara semua ini diperintahkan oleh agama termasuk perintah untuk memperbaiki akhlak.
Ada dua cara untuk membentuk akhlak yang baik, Pertama, melalui pemahaman terhadap hukum dan norma syariat serta pemahaman terhadap pemikiran yang rasional dan logis. Dengan pemahaman ini seseorang diharapkan dengan sendirinya mampu membedakan mana perkataan ( sumber sam’iyyat ) yang benar dan yang tidak benar, bisa membedakan keyakinan yang syah dan yang batal dan bisa membedakan perbuatan yang terpuji dan tercela. Pemahaman ini pada ahirnya diharapkan dapat memunculkan hikmah ( wisdom, kebijaksanaan ). Proses pemahaman ini dapat dilakukan melalui proses pengajaran dengan berbagai metode seperti ceramah, cerita, diskusi, nasihat, penugasan dan lain sebagainya.
Proses pemahaman ini dapat dilakukan oleh diri sendiri maupun orang lain. Bagi yang sudah menyadari akan penyakit dan keburukan akhlaknya, tentu dapat melakukan pemahaman secara mandiri dengan cara berfikir dan bertadabbur, membaca dan memahami teks syar’iyyah maupun mendengarkannya melaui majlis-majlis mauidlah dan ta’lim. Namun bagi yang belum mempunyai kesadaran dan keinsyafan tentu dibutuhkan pihak luar untuk ikut memberikan pemahaman.
Kedua, melalui pembiasaan atau pengalaman langsung. Dengan pembiasaan ini seseorang dilatih dan dipaksa untuk mengendalikan daya marah dan syahwatnya dengan melakukan akhlak yang terpuji. Misalnya seseorang dipaksakan dan dilatih bersedekah agar menjadi orang yang dermawan. Demikian orang dilatih dan dibiasakan untuk menghormati dan menghargai orang lain agar menjadi orang yang tawadlu’. Namun demikian pembiasaan jangan sampai melampaui batas akal dan syara,. Sebagai contoh dermawan yang gebablasan akan memunculkan akhlak yang tercela yaitu boros. Demikian juga keberanian yang kebanlasan akan memunculkan akhlak yang tercela yaitu tahawur (nekad).

MENCARI JATI DIRI

Mencari jati diri ternyata susah, aku kuliah sembilan semester lamanya. Mengaji di pesantren hampir empat tahun. Aktif di organisasi selama empat periode. Dari sekian banyak dunia sudah kucicipi. Berbagai komunitas telah aku masuki. Jadilah aku yang seperti ini.

Kemudian saatnya aku pulang, besar harapan saya untuk menjadi sesuatu, tidak hanya seonggok daging tanpa fungsi. Kemana aku harus menginduk, mencari wadah untuk menampung harapan ini. Ada keinginan untuk mulai masuk ke IPNU, tetapi apa yang bisa aku lakukan, rasanya canggung kalau aku harus kumpul-kumpul untuk sekedar yasinan atau diba’an.

Ada keinginan untuk menjadi ustadz di majlis ta’lim. Tapi saya kira tenaga saya tidak terlalu dibutuhkan karena fungsi itu sudah banyak disandang oleh para alumni pesantren yang jumlahnya cukup banyak di desa ini. Yang terpenting adalah bahwa aku belum siap untuk menjadi sesuatu, karena hati ini kadang sering lupa diri. Ingat waktu KKN, saya begitu mudah untuk masuk ke IPNU maupun ANSOR di desa itu, bahkan banyak orang tua yang kagum kepada saya karena sosok mahasiswa bisa lugas berbicara tentang masalah agama. Saya sempat dekat dengan para kyai di desa itu, bahkan orang yang paling dianggap tua di kampung itu sudah begitu dekatnya dengan saya, sampai sampai setiap ada urusan sampai yang kecil Beliau hanya percaya pada saya. Kemudian yang terjadi begitu sombong dan percaya diri saya berfikir telah betul betul menjadi manusia yang ter di kampung itu. Bahkan ketika pak carik dan pak kyai malam malam mengajak saya turut serta berziarah ke makam wali, saya yang dipasrahi do’a oleh pak kyai. Saya betul betul telah lupa diri menyepelekan teman-teman, karena setiap sambutan di depan forum pengajian saya selalu ngoceh tak tahu diri. Aku betul betul benci dengan diriku.

Sekarang aku betul betul di masyarakat sekarang, di desa saya sendiri, haruskah saya mengulangi kebodohan saya lagi. Aku ingin mewujudkan diriku menjadi sosok diri yang tawadlu’. Haruskah aku terus sembunyi dan mendekam di kamar ini.

Pernah aku berfikir untuk mejadi sosok yang urakan, biar tak ada kesempatan untuk berbangga diri ketika sosok ini dipanggul tinggi oleh masyarakat. Suatu malam aku memecah ketentraman desa dengan suara motorku yang sangat keras. Kutancap gas dengan kencang dan menimbulkan suara yang sangat bising, kemudia dari masjid keluar seseorang yang aku kenal tetapi mungkin dia tidak mengenaliku karena tempat aku berhenti agak jauh dari orang itu. Dia dengan nada yang menjengkelkan “ terus … sing seru meneh wani pora….. ora wani raaa….”. Ternyata aku tidak bisa menerima keadaan itu, kejadian itu menjadi sesuatu yang terfikirkan cukup lama. Ada ketakutan ketika masyarakat tidak dapat menerima aku.

“al jaah adzorru minal maal” kata kata itu sangat berarti bagiku, seolah itu menjadi obat bagiku, mengingatkan aku bahwa aku tengah gila soal kedudukan. Sebenarnya apa urusan saya dengan tanggapan masyarakat terhadap saya, apakah kemudia bisa merobah kedudukan saya di mata Alloh.

Aku sekarang berusaha untuk tidak mengidamkan apapun. Kalau kemudian ada yang membutuhkan aku maka aku siap untuk memberi sesuatu. Kalaupun aku tidak dibutuhkan atau tidak bisa memberi sesuatu maka cukuplah Alloh sebagai penentu dimana posisi dan fungsi saya.

Aku bukan apa apa. Sarjana belum tentu menjadi status yang tinggi. Mengaji tidak harus menjadi kyai. Ilmu manfaat bukan ilmu yang menjadikan dia sebagai ustadz. Asalkan ada kawan yang datang kemudian bertanya tentang sesuatu tentang ilmu yang kebetulah aku tahu lebih dahulu, maka saat itulah aku mengamalkan ilmu seperti para ustadz itu mengajar di majlis majlis. Aku memang selalu berdoa agar dapat memiliki talamidz yang banyak sehingga aku yakin bahwa ilmu yang ada pada saya betul betul manfaat walaupun itu sedikit.

Kalaupun kesempatan itu datang, apakah aku mampu menjadi seorang panutan, apakah aku betul betul pantas menjadi seorang muallim. Karena saya tahu betul keadan diri ini lebih pantas menjadi seorang mustanir yang tak layak menjadi pencerah kegelapan. Pendosa ini sungguh tak pantas menjadi uswah. Haruskah aku memaksakan diri?

Saya ingat ketika PPL, di sela sela saya mengajar, saya selalu tampil meyakinkan di depan kelas berbicara tentang kehidupan, tentang hakikat, tentang kebenaran, tentang moral, tentang filsafat, sampai sampai guru pamong saya terperangah dan mengira saya adalah seorang yang tengah belajar filsafat. Suatu waktu sehabis mengajar guru pamong bertanya padaku “ anda belajar filsafat di mana?” Rupanya beliau tertarik dengan ungkapan saya “ aku adalah kamu, kamu adalah aku, kita adalah satu.” Kalau sudah demikian seperti biasa saya jadi besar kepala, dan selau ngoceh tentang kebenaran. Pernah suatu hari saya mengadakan ulangan harian. Kepada para murid, saya memperingatkan dengan nada filosofis “kebenaran tidak berada di samping anda, kebenaran juga tidak di depan atau di belakang anda, jangan berusaha mencontek karena kebenaran itu milik Alloh.” Yang tidak faham dengan kalimat saya ngomong “hubungannya apa dengan nyontek?” tetapi yang menjadikan dramatis dan tidak bisa saya lupakan adalah dia Nurul, murid yang cantik, putih, rambutnya agak keriting, kecil, dan yang terpenting dia lah yang paling pinter di kelas. Dia mengkritik saya dengan pedas, sangat pedas. Dengan lantang dia berani memanggil saya “ pak sini pak! Saya mohon bapak tidak menyebut-nyebut Alloh terus ini bukan pelajaran agama” lalu saya menimpali dengan ketus “ Agama tidak dibawa kalau hanya pelajaran agama saja.” Kemudian dia melunak dengan nada dan mimik yang lebih bersahabat “pak saya selalu merinding kalau bapak menyebut-nyebut Alloh.” Aku kemudian berusaha memahami walau kupaksakan “ bagus kamu nurul, kritik kamu bagus dan saya bisa menerima.” Setelah itu anak itu menjadi merasa sangat bersalah pada saya, mungkin dia merasa mempermalukan saya, tetapi sebenarnya saya menjadi salut kepada dia sejak hari itu. Hari berikutnya dia sengaja datang ke ruangan PPL menemui saya dan meminta maaf tentang kejadian itu.” Kamu saya maafkan tetapi kamu harus siap saya pukul.” Saya mengulurkan tinju tepat di depan wajahnya tetapi tidak sampai kena. Dia pasrah menanti tangan saya mendarat di mukanya sambil memejamkan mata. Dan tentu saja kemudian untuk memuaskan hatinya saya katakan bahwa saya telah memaafkanya. Saya selalu begitu, selalu gila pujian, gila pangkat, dan lupa kepada Alloh denganmengatasnamakan Alloh. Aku menanti jawabmu Tuhan…….