Mencari jati diri ternyata susah, aku kuliah sembilan semester lamanya. Mengaji di pesantren hampir empat tahun. Aktif di organisasi selama empat periode. Dari sekian banyak dunia sudah kucicipi. Berbagai komunitas telah aku masuki. Jadilah aku yang seperti ini.
Kemudian saatnya aku pulang, besar harapan saya untuk menjadi sesuatu, tidak hanya seonggok daging tanpa fungsi. Kemana aku harus menginduk, mencari wadah untuk menampung harapan ini. Ada keinginan untuk mulai masuk ke IPNU, tetapi apa yang bisa aku lakukan, rasanya canggung kalau aku harus kumpul-kumpul untuk sekedar yasinan atau diba’an.
Ada keinginan untuk menjadi ustadz di majlis ta’lim. Tapi saya kira tenaga saya tidak terlalu dibutuhkan karena fungsi itu sudah banyak disandang oleh para alumni pesantren yang jumlahnya cukup banyak di desa ini. Yang terpenting adalah bahwa aku belum siap untuk menjadi sesuatu, karena hati ini kadang sering lupa diri. Ingat waktu KKN, saya begitu mudah untuk masuk ke IPNU maupun ANSOR di desa itu, bahkan banyak orang tua yang kagum kepada saya karena sosok mahasiswa bisa lugas berbicara tentang masalah agama. Saya sempat dekat dengan para kyai di desa itu, bahkan orang yang paling dianggap tua di kampung itu sudah begitu dekatnya dengan saya, sampai sampai setiap ada urusan sampai yang kecil Beliau hanya percaya pada saya. Kemudian yang terjadi begitu sombong dan percaya diri saya berfikir telah betul betul menjadi manusia yang ter di kampung itu. Bahkan ketika pak carik dan pak kyai malam malam mengajak saya turut serta berziarah ke makam wali, saya yang dipasrahi do’a oleh pak kyai. Saya betul betul telah lupa diri menyepelekan teman-teman, karena setiap sambutan di depan forum pengajian saya selalu ngoceh tak tahu diri. Aku betul betul benci dengan diriku.
Sekarang aku betul betul di masyarakat sekarang, di desa saya sendiri, haruskah saya mengulangi kebodohan saya lagi. Aku ingin mewujudkan diriku menjadi sosok diri yang tawadlu’. Haruskah aku terus sembunyi dan mendekam di kamar ini.
Pernah aku berfikir untuk mejadi sosok yang urakan, biar tak ada kesempatan untuk berbangga diri ketika sosok ini dipanggul tinggi oleh masyarakat. Suatu malam aku memecah ketentraman desa dengan suara motorku yang sangat keras. Kutancap gas dengan kencang dan menimbulkan suara yang sangat bising, kemudia dari masjid keluar seseorang yang aku kenal tetapi mungkin dia tidak mengenaliku karena tempat aku berhenti agak jauh dari orang itu. Dia dengan nada yang menjengkelkan “ terus … sing seru meneh wani pora….. ora wani raaa….”. Ternyata aku tidak bisa menerima keadaan itu, kejadian itu menjadi sesuatu yang terfikirkan cukup lama. Ada ketakutan ketika masyarakat tidak dapat menerima aku.
“al jaah adzorru minal maal” kata kata itu sangat berarti bagiku, seolah itu menjadi obat bagiku, mengingatkan aku bahwa aku tengah gila soal kedudukan. Sebenarnya apa urusan saya dengan tanggapan masyarakat terhadap saya, apakah kemudia bisa merobah kedudukan saya di mata Alloh.
Aku sekarang berusaha untuk tidak mengidamkan apapun. Kalau kemudian ada yang membutuhkan aku maka aku siap untuk memberi sesuatu. Kalaupun aku tidak dibutuhkan atau tidak bisa memberi sesuatu maka cukuplah Alloh sebagai penentu dimana posisi dan fungsi saya.
Aku bukan apa apa. Sarjana belum tentu menjadi status yang tinggi. Mengaji tidak harus menjadi kyai. Ilmu manfaat bukan ilmu yang menjadikan dia sebagai ustadz. Asalkan ada kawan yang datang kemudian bertanya tentang sesuatu tentang ilmu yang kebetulah aku tahu lebih dahulu, maka saat itulah aku mengamalkan ilmu seperti para ustadz itu mengajar di majlis majlis. Aku memang selalu berdoa agar dapat memiliki talamidz yang banyak sehingga aku yakin bahwa ilmu yang ada pada saya betul betul manfaat walaupun itu sedikit.
Kalaupun kesempatan itu datang, apakah aku mampu menjadi seorang panutan, apakah aku betul betul pantas menjadi seorang muallim. Karena saya tahu betul keadan diri ini lebih pantas menjadi seorang mustanir yang tak layak menjadi pencerah kegelapan. Pendosa ini sungguh tak pantas menjadi uswah. Haruskah aku memaksakan diri?
Saya ingat ketika PPL, di sela sela saya mengajar, saya selalu tampil meyakinkan di depan kelas berbicara tentang kehidupan, tentang hakikat, tentang kebenaran, tentang moral, tentang filsafat, sampai sampai guru pamong saya terperangah dan mengira saya adalah seorang yang tengah belajar filsafat. Suatu waktu sehabis mengajar guru pamong bertanya padaku “ anda belajar filsafat di mana?” Rupanya beliau tertarik dengan ungkapan saya “ aku adalah kamu, kamu adalah aku, kita adalah satu.” Kalau sudah demikian seperti biasa saya jadi besar kepala, dan selau ngoceh tentang kebenaran. Pernah suatu hari saya mengadakan ulangan harian. Kepada para murid, saya memperingatkan dengan nada filosofis “kebenaran tidak berada di samping anda, kebenaran juga tidak di depan atau di belakang anda, jangan berusaha mencontek karena kebenaran itu milik Alloh.” Yang tidak faham dengan kalimat saya ngomong “hubungannya apa dengan nyontek?” tetapi yang menjadikan dramatis dan tidak bisa saya lupakan adalah dia Nurul, murid yang cantik, putih, rambutnya agak keriting, kecil, dan yang terpenting dia lah yang paling pinter di kelas. Dia mengkritik saya dengan pedas, sangat pedas. Dengan lantang dia berani memanggil saya “ pak sini pak! Saya mohon bapak tidak menyebut-nyebut Alloh terus ini bukan pelajaran agama” lalu saya menimpali dengan ketus “ Agama tidak dibawa kalau hanya pelajaran agama saja.” Kemudian dia melunak dengan nada dan mimik yang lebih bersahabat “pak saya selalu merinding kalau bapak menyebut-nyebut Alloh.” Aku kemudian berusaha memahami walau kupaksakan “ bagus kamu nurul, kritik kamu bagus dan saya bisa menerima.” Setelah itu anak itu menjadi merasa sangat bersalah pada saya, mungkin dia merasa mempermalukan saya, tetapi sebenarnya saya menjadi salut kepada dia sejak hari itu. Hari berikutnya dia sengaja datang ke ruangan PPL menemui saya dan meminta maaf tentang kejadian itu.” Kamu saya maafkan tetapi kamu harus siap saya pukul.” Saya mengulurkan tinju tepat di depan wajahnya tetapi tidak sampai kena. Dia pasrah menanti tangan saya mendarat di mukanya sambil memejamkan mata. Dan tentu saja kemudian untuk memuaskan hatinya saya katakan bahwa saya telah memaafkanya. Saya selalu begitu, selalu gila pujian, gila pangkat, dan lupa kepada Alloh denganmengatasnamakan Alloh. Aku menanti jawabmu Tuhan…….